Tragedi Dunia Arab
Tragedi dunia Arab. Agaknya tidak ada kosakata yang lebih tepat untuk menggambarkan tragedi kemanusiaan yang meningkat dan terus berlanjut di banyak negara Arab sejak Ramadhan dan pasca-Idul Fitri 1434. Ibadah puasa yang menekankan pengendalian diri yang kemudian diakhiri dengan kembali kepada kesucian diri (fitrah) ternyata belum juga teraktualisasi di banyak wilayah Muslim Timur Tengah.
Kita di Indonesia hanya bisa mengurut dada prihatin. Lihat, misalnya, sepanjang Ramadhan tidak kurang dari 800 orang tewas karena bom di pinggir jalan, di pasar, dan bahkan di masjid di Baghdad dan beberapa kota lain di Iraq. Korban dalam jumlah besar juga terus berjatuhan dalam perang saudara di Syria.
Perang Syria juga kian mengimbas ke Lebanon; bom bunuh diri yang meledak di kawasan Hizbullah, Beirut, Rabu (14/8/2013), menewaskan tidak kurang 22 orang dan mencederai lebih 200 orang. Para pemimpin Syiah Hizbullah--yang mati-matian membela rezim Bashar Asad di Syria mengklaim pelaku pengeboman adalah kelompok Suni ekstrimis. Inilah contoh konflik politik yang menjadi kian akut ketika bercampur dengan sektarianisme keagamaan.
Yang tidak kurang memprihatinkan adalah eskalasi konflik yang berujung dengan kekerasan di Mesir. Gelombang demi gelombang kekerasan terjadi sejak usai Idul Fitri. Puncaknya adalah sepekan setelah Idul Fitri (Rabu, 14/8/13), ketika militer secara membabi buta menembakkan peluru dan membuldoser para pendukung Presiden Muhammad Mursi yang sebelumnya telah mereka gulingkan. Menurut sumber resmi pemerintah, sekitar 800 orang tewas; sementara pihak al-Ikhwan al-Muslimin (IM) mengklaim jumlah korban tewas lebih dari 3.000 orang. Seperti bisa diduga, sebagian besar mereka yang tewas adalah para anggota IM.
Seolah belum cukup dengan banyaknya jumlah korban yang tewas, militer dan polisi Mesir kembali menunjukkan kebrutalannya dengan menewaskan lebih 200 orang pendukung Mursi dan IM sepanjang Jumat-Sabtu lalu (16-17/8/13). Bahkan, aparat tidak lagi malu-malu menembaki para demonstran yang mencari perlindungan di Masjid al-Fath, Ramses, Kairo. Tak mengejutkan kalau di Masjid al-Fath saja, menurut TV Aljazirah, sekitar 110 orang tewas.
Tragedi apa lagi yang lebih menghancurkan daripada kejadian seperti ini? Jika nyawa di masjid, rumah Tuhan, saja tidak lagi dihormati oleh aparat yang kian brutal, di mana lagi orang harus berlindung? Imbauan dan seruan berbagai pemerintah dan lembaga dunia tidak didengar para penguasa interim Mesir. Imbauan agar pemerintah dan aparat keamanan Mesir tidak menggunakan senjata secara semena-mena malah mereka anggap sebagai campur tangan asing.
Pada pihak lain, seperti sepanjang sejarahnya, Liga Arab dan OKI juga tidak berdaya menghentikan kebuasan aparat keamanan Mesir. Hal ini terkait dengan kenyataan kedua lembaga multilateral dunia Arab dan dunia Islam ini lebih sering menjadi ajang kontestasi negara-negara Arab untuk memenangkan pengaruh dan hegemoni daripada kekuatan efektif, khususnya menyelesaikan konflik dan kekerasan di negara-negara Arab sendiri.
Anehnya, ada juga negara Arab, seperti Arab Saudi, yang justru mendukung brutalitas aparat keamanan Mesir. Raja Abdullah bahkan menyatakan, ada anasir teror yang bermaksud melakukan destabilisasi Mesir untuk kepentingan mereka sendiri. Sungguh mengejutkan, penguasa Arab Saudi mengaitkan kekerasan di Mesir dengan terorisme. Padahal, negara-negara Barat saja, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, atau Jerman, tidak bicara tentang adanya terorisme dalam pergolakan politik Mesir. Karena itu, sikap Raja Abdullah itu lebih banyak terkait dengan kemarahan yang terpendam lama kepada IM yang anti-monarki Saudi.
Tak kurang memprihatinkan adalah sikap pemerintah Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara normatif hanya mengimbau agar PBB lebih aktif menengahi konflik dan kekerasan di Mesir. Mengapa sekadar mengimbau PBB, bukan mengambil inisiatif sendiri? Jauh daripada melakukan inisiatif mediasi, Presiden SBY hanya meminta agar Dubes Indonesia di Kairo bertahan untuk memastikan warga Indonesia--yang sebagian besarnya mahasiswa di Universitas al-Azhar--tetap aman.
Padahal, Indonesia berada dalam posisi yang baik untuk ikut membantu. Bukan hanya untuk kepentingan kemanusiaan, tetapi juga karena ikatan historis Indonesia yang begitu kuat dengan Mesir. Negara ini termasuk yang pertama-tama mengakui kemerdekaan Indonesia ketika diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Jika AS dan EU mengirim utusan khusus untuk menyampaikan pesan agar pemerintah dan militer Mesir tidak menggunakan kekerasan, mengapa pemerintah Indonesia tidak melakukan hal yang sama? Apakah tidak sepatutnya Presiden SBY mengirim utusan khusus untuk berdialog dengan para penguasa Mesir? Memprihatinkan. Sementara itu, zero-sum-game terus berlangsung dengan eskalasi terus meningkat di Mesir dan beberapa negara Arab lain yang dulu pernah memegang hegemoni politik di Timur Tengah.
Pemerintah dan kelompok-kelompok sektarian di Mesir, Syria, Irak, dan seterusnya terus mengumbar brutalitas masing-masing entah sampai kapan. Irak nampaknya sulit diharap pulih dalam waktu dekat. Apalagi Syria atau Mesir. Jangan lupakan Libya yang masih tenggelam dalam ketidakpastian. Benar-benar tragedi